Profil : Gas Blok A Development Project (Medco Energy)

PROFIL LAPANGAN MIGAS BLOK A ACEH
(2 x 60 MMSCFD Blok A Gas Development Project )

I. SEKILAS POTENSI MIGAS DI ACEH

Meskipun cadangan migas yang dimiliki Aceh saat ini sudah tidak begitu berkilau seperti dijaman kejayaan lapangan Arun, namun tetap saja masih menyisakan beberapa lapangan yang berpotensi untuk dikembangkan dan menghasilkan Minyak dan Gas, ini terjadi karena selama kurun waktu 30 tahun konflik beberapa lapangan migas yang sudah memiliki cadangan terbukti, belum bisa ter eksploitasi, diantaranya :

• Blok A (blok ini dikelola oleh Medco Energy) dan saat ini memasuki tahapan eksploitasi (Produksi). Blok ini diprediksi bisa menghasilkan gas sebesar 125 MMSCFD. Berada diwilayah Aceh Timur.

• Blok Perlak (Blok ini dikelola oleh PT. Pertamina, dan yang menjadi Operatornya adalah PT. Pacific Oil & Gas sebagai partner Kerja Sama Operasi), Blok ini saat ini dalam persiapan untuk produksi (yang sempat terhenti pembangunan fasilitas produksinya pada awal tahun 2008, akibat turunnya harga minyak pada titik terendah, sehingga menurunkan nilai keekonomian). Blok Perlak ini diprediksi menghasilkan Crude Oil +/- 4000 BOPD. Berada di Perlak Aceh Timur.

• Blok Kueng Mane (dikelola Oleh ENI Spa), blok ini berada di pantai Krueng Mane (offshore) Aceh Utara dan dalam persiapan menuju tahap Eksploitasi (Produksi), sudah ditemukan cadangan gas terbukti, hingga saat ini ENI Spa dalam proses untuk mengajukan POD ke BP. Migas, dari Blok A ini diprediksikan bisa menghasilkan gas +/- 60 MMSCFD, dan rencananya juga untuk memenuhi kebutuhan industri di Aceh.

• Adapun blok migas lainnya masih dalam tahapan Eksplorasi (seismic & Drilling) yaitu : Blok Seureuway di sepanjang pantai Bagok Nurussalam Aceh Timur (Pengelola : Transword Seureuway Ltd) serta Blok pantai Lhokseumawe (Pengelola : Zaratex), Kontraktor di kedua blok ini masih aktif melakukan kegiatan eksplorasi hingga saat ini.
II. LOKASI LAPANGAN MIGAS BLOK A

Blok Migas (disebut Blok A Aceh) ini berada di wilayah Kabupaten Aceh Timur Propinsi Aceh, tepatnya berada dibeberapa wilayah Kec : Nurussalam, Kec : Simpang Ulim Kec : Kuta Binjei Kec : Darul Aman Kec : Idi rayeuk, Kec : darulaman, Kec Nurussalam, Kec Kutabinje & Kec Perlak, Bayeun dan Langsa. dengan luasan area 1803 Km2.

III. SEJARAH PENGELOLAAN BLOK A :

 1 Sept 1961 : Sign Contract - Pertamina & Asamera (Utk ijin operasi selama 30 tahun)

 1 Sept 1991 : Extend Contract hingga 1 Sept 2011 (utk 20 tahun)

Luas area kerja Block A (Original) : 3910 Km2

Luas (revisi / Terkini) : 1803 Km2

 1999 ~ 2006 : Dikelola oleh Exxon Mobil & Conoco Philips

 15 Agustus 2005 : Kesepakatan damai GAM dan Pemerintah pusat

 April 2006 : Medco bersama partner (Premier & Japex) mengakuisi kepemilikan saham ExxonMobil.

 1 Agustus 2006 : UU Pemerintah Aceh (UU PA No 11) ditandatangani Presiden SBY.

 Januari 2007 : Medco bersama partner (Premier & Japex) mengakuisi kepemilikan saham ConocoPhilips.

 Sept 2011 : Kontrak Blok A berakhir.

 Feb 2009 : Medco Mengajukan perpanjangan Kontrak 20 tahun, menjadi Sept 2031.

IV. KOMPOSISI KEPEMILIKAN SAHAM SAAT INI

 Medco Energy (Medco E&P) : 41,67%

 Premier Oil : 41,66%

 Japex : 16,67%

Disepakati Medco Energy (PT. Medco E&P Malaka) yang bertindak sebagai Operator.

V. PROFIL CADANGAN HIDROKARBON DI BLOK A

Saat Medco (bersama partner) mengakuisisi Blok A ini, Blok dalam kondisi telah ditemukan cadangan terbukti Hidrokarbon (MiGas), yang berada dibebarapa lapangan yaitu :

• Lapangan Alusiwah (AS 08,09 & 10)
Lapangan migas ini berada di Desa Aluesiwah Bagok Kec Nurussalam Kab Aceh Timur,dengan Koordinat masing-masing well nya berada di koordinat 04.56’.27,9” N, 97. 26’. 45,6” E (AS 08), 04.53’.32,7”N, 97.38’.44,2” E (AS 09) dan 04.55’.42” N 97.37”.49,1”E (AS 10). Lokasinya +/- 14 KM ke arah Selatan dari Bagok (Kec Nurussalam / Kuta Binjei) dari Jalan Raya Medan – Banda Aceh.

Dari ketiga lapangan ini diprediksi dapat menghasilkan Gas sebesar 110 MMSCFD.
• Lapangan Juluk Rayeuk

Berada di Kec : Julok Kuta Binjei Aceh Timur, dari lapangan ini diprediksi dapat menghasilkan Gas 5 MMSCFD. Berlokasi +/- 13 KM dari jalan raya Medan – Banda Aceh.
• Lapangan Alu Rambong

Berada di Desa Alue Rambong Kec Julok Kuta binjei Aceh Timur dan dari lapangan ini diprediksi dapat menghasilkan gas 25 MMSCFD. Lokasi sumur gas nya berada di Koordinat : 05.02’.17,6 N, 97.76’.45,6”E. Lokasi nya +/- 1 KM dari Jalan Raya Medan - Banda Aceh

Disamping menghasilkan gas, ketiga lapangan tersebut juga menghasilkan condensate sebesar 2800 MOBD. Status cadangan Gas terbukti telah disertifikasi oleh GCA (Gastner Clien & Associates) pada akhir 2007.

Ketiga lapangan migas tersebut, masuk dalam POD yang diajukan Medco ke BP. Migas untuk menuju tahapan Eksploitasi (Produksi). Disamping memiliki cadangan gas, di Blok A juga memiliki cadangan minyak (meskipun tidak signifikan) yaitu di beberapa lapangan Perlak Aceh Timur, namun demikian sepertinya Medco akan memasukkan pengembangan Lapangan minyak Perlak ini sebagai bagian dari POD tahap berikutnya.

VI. AKTIFITAS YANG DILAKUKAN MEDCO PASCA AKUISISI BLOK A

• Area Sumur Gas (lapangan Alusiwah, Alurambong & Julo Rayeuk).

Medco telah melakukan Re survey serta pendataan kondisi terkini dari sumur-sumur di beberapa lapangan migas tersebut. Persiapan yang dilakukan untuk menuju tahapan pembangunan fasilitas produksi adalah pada Oktober 2008 ~ Maret 2009 dilakukan kegiatan FEED (oleh Technip Indonesia), serta beberapa pekerjaan persiapan lainnya dilapangan : soil investigasi dan topography serta pendataan kondisi social masyarakat untuk program ComDev.

• Area Sumur Minyak (lapangan Perlak).

Medco melakukan pencucian (cleaning) beberapa sumur minyak yang ada di Perlak Aceh Timur (Enhance Oil Recovery), yang diprediksi masih menyisakan cadangan minyak. Pekerjaan ini dilakukan pada pertengahan hingga akhir 2008.
VII. PROFIL PEMBELI GAS (GAS BUYER) :

Setelah mengakuisisi Blok A dari Exxon dan Conoco Philips, Medco telah berhasil mencapai kesepakatan penjualan gas dengan PLN dan PT. PIM, semua gas yang diproduksi dari Blok A ini, sepenuhnya akan terserap untuk Domestic Market di Aceh yaitu :

• PT. Pupuk Iskandar Muda (Lhokseumawe).

Untuk PT. PIM telah terikat kontrak jual beli gas, dengan kontrak supply 223 TBTU atau 110 MMSCFD selama 7 tahun, dengan harga USD 5 / MMBTU) plus 60% tambahan profit dari selisih harga dasar Urea pasar internasional. Perjanjian jual beli gas (GSA) sudah disepakati pada 10 Des 2007.
• PT. Perusahaan Listrik Negara (Pembangkit Listrik dibangun di Aceh Timur)

PT. PLN mendapat porsi gas sebesar 15 MMSCFD dengan estimasi nilai kontrak USD 565 Juta dalam kurun waktu supply selama 17 tahun, dan telah disepakati perjanjian jual beli gas (GSA) pada 9 April 2008).
VIII. BEBERAPA ISU PENTING (TERKAIT PERIJINAN PSC BLOK A OLEH PEMDA ACEH)

• Status Perpanjangan PSC Blok A.

Medco memiliki ijin pengelolaan Blok A hingga Sept 2011 dan pada Februari 2009 Medco telah mengajukan permohonan perpanjangan kontrak selama 20 tahun ke BP. Migas & ESDM (menjadi sept 2031), saat itu pemerintah pusat memberi sinyal akan memperpanjang kontrak Blok A tersebut kepada Medco, namun Pemerintah Aceh belum menyetujuinya (terkendala regulasi berupa UU PA No 8 Thn 2006 yang menyatakan bahwa Pemerintah Aceh memiliki kewenangan secara bersama-sama pemerintah pusat dalam hal pengaturan pengelolaan sumber daya alam di propinsi Aceh). Proses perijinan perpanjangan PSC tersebut mengalami deadlock selama +/- 1 tahun.
• Regulasi tentang Pengelolaan Migas di Aceh

Pasca kesepakatan damai antara Pemerintah Pusat dengan GAM, melahirkan sebuah UU tentang Pemerintah Aceh yaitu UU PA No 11 Tahun 2006, yang ditandatangani oleh Presiden RI pada tanggal 1 Agustus 2006. Isi dari UU PA adalah kewenangan Pemerintah Aceh dalam pengelolaan pemerintahan daerah, ekonomi, budaya, poltik dan pengelolaan sumber daya alam.

Adanya UU PA No 11 2006 ini juga menjadi pembeda antara Propinsi Aceh dengan propinsi lainnya di Indonesia, salah satunya mengenai pengelolaan Migas (jika propinsi lain semua pengelolaan migas di atur oleh BP Migas / ESDM dan propinsi hanya menerima setoran bagi hasil, sedangkan Propinsi Aceh memiliki kewenangan yang setara dengan Pemerintah Pusat, baik dalam penentuan pengelola Blok migas, pengontrolan budget operasi Operator migas dan lainnya, seperti layaknya peranan BP. Migas & ESDM). Sebagai Badan Pengelolanya akan dibentuk BP. Migas Aceh (yang terdiri atas perwakilan BP. Migas Pusat dan Perwakilan Aceh).

Adapun tentang pengelolaan SDA, didalam UU PA tersebut diatur dalam pasal sbb :

Pasal 160 :

1. Pemerintah Pusat & Pemerintah Aceh melakukan pengelolaan bersama sumber daya alam minyak & gas bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh.

2. Untuk melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Aceh dapat mununjuk atau membentuk suatu badan pelaksana yang ditetapkan bersama.

3. Kontrak kerjasama dengan pihak lain untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi dalam rangka pengelolaan minyak dan gas bumi dapat dilakukan jika keseluruhan isi perjanjian kontrak kerjasama telah disepakati bersama oleh Pemerintah dan Pemerintah Aceh.

4. Sebelum melakukan pembicaraan dengan Pemerintah mengenai kontrak kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Aceh harus mendapat persetujuan DPRA.

5. Ketentuan lebih lanjut mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 161 :

1. Perjanjian kontrak kerjasama antara Pemerintah dan pihak lain yang ada pada saat Undang-undang ini diundangkan dapat diperpanjang setelah mendapat kesepakatan antara Pemerintah dan Pemerintah Aceh sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 160 ayat (3).
Pasca terbitnya UU PA tersebut, mengalami kendala dalam hal implementasi, mengingat aturan teknisnya berupa PP (Peraturan Pemerintah) & PerPres (Peraturan Presiden) belum juga diterbitkan oleh Pemerintah Pusat & DPR. Per Juli 2010 pemerintah pusat baru menyelesaikan dan telah diimplementasikan di Aceh yaitu PP tentang Partai politik, PP bagi Hasil migas & Otsus.
Adapun yang masih menyisakan (dalam proses pembahasan Legislatif & Eksekutif pusat) adalah 6 PP dan 3 PerPres, yaitu PP tentang pengelolaan bersama SDA Minyak & Gas Bumi, PP tentang pelimpahan kewenangan pemerintah pusat yang bersifat nasional ke Aceh, PP Pelimpahan kewenangan Pemerintah kepada dewan kawasan Sabang (DKS), PP tentang / persyaratan dan tata cara pengangkatan & pemberhentian Sekretaris Daerah Aceh & Sekretaris Kabupaten / Kota, PP tentang tata cara pelaksanaan tugas & wewenang Gubernur sebagai Wakil Pemerintah, PP tentang Standar, Norma, dan Prosedur Pembinaan & Pengawasan PNS Aceh dan Kabupaten / Kota.
Dengan belum tuntasnya payung hukum berupa PP Migas tersebut, maka Pemerintah Aceh juga tidak bersedia untuk menyetujui perpanjangan PSC Blok A untuk Medco, mengingat salah satu point utama dari PP Migas tersebut adalah mengenai kewenangan pemerintah Aceh dan Pusat secara bersama-sama membentuk sebuah Badan Pelaksan Migas (BP. Migas Aceh), sehingga nantinya diharapkan Aceh punya peranan dalam pengelolaan sumber migasnya.
• Perkembangan Status Perpanjangan PSC BLOK A.

Status permohonan perpanjangan PSC Blok A oleh medco sempat mengalami status “dalam Evaluasi Pemerintah Aceh” selama +/- 1 tahun dan secara paralel Pemda Aceh juga membentuk Tim Advokasi Migas / Tim 5 (terdiri atas para senior praktisi migas asal Aceh : Ketua : Bp. Ramli Djaafar / Eks Humas Pertamina Pusat, Surya Dharma / Direktur Pengembangan Pertamina Geothermal, Ibrahim Hasyim / Anggota BPH Migas, Sjahabuddin / Eks Pertamina dan Ridwan Nya’ Baet / Eks Pertamina) yang bertugas untuk melakukan kajian dan mereview permohonan perpanjangan PSC Blok A serta sebagai perwakilan Aceh dalam proses negosiasi dengan pemerintah pusat dan DPR mengenai PP Migas dan pembentukan BP. Migas Aceh, selanjutnya memberi rekomendasi ke Gubernur Aceh mengenai langkah-langkah yang perlu diambil.

Berdasarkan hasil pertemuan  dengan Tim 5 pada tanggal 6 April 2010 (saat Pusat Pengkajian & Pengembangan Aceh / P3A menggelar seminar tentang kegiatan investasi Migas Aceh di Plaza Sentral Jakarta), terungkap bahwa isi rekomendasi Tim 5 ini adalah agar pemda Aceh dapat menunggu terbitnya PP Migas (baru setelah itu, menyetujui perpanjangan PSC Blok A), dengan harapan agar perpanjangan PSC blok A berada dalam koridor hukum UU PA dan PP Migas Aceh.

Namun setelah melewati proses negosiasi yang panjang, awal Juli 2010 Pemerintah Aceh bersama DPRD Aceh (DPRA) menyetujui perpanjangan PSC Blok A, sehingga selanjutnya Medco melakukan koordinasi dengan BP. Migas dan ESDM perihal perpanjangan PSC Blok A serta pengajuan WP&B dan AFE untuk persiapan pengembangan Blok A menuju tahap Eksploitasi (Produksi) berupa pembangunan fasilitas produksi.
• Perkembangan Terkini.

Pasca disetujuinya perpanjangan PSC oleh Pemerintah Aceh (Gubernur), ternyata masih menyisakan persoalan yaitu adanya permintaan dari Pemda Aceh Timur yaitu menyangkut Participating Interest (PI) sebesar 10% serta permintaan pembangunan rumah sakit di Aceh Timur (permohonan pembangunan RS ini sebenarnya juga dapat dipahami, mengingat setelah Aceh Timur berpindah ibu kota kabupaten dari Kota Langsa ke Kota Idi, Pemda Aceh Timur belum mampu membangun RS yang lebih representative).

Menyangkut PI 10% memang diatur tersendiri dalam PP Migas 35 Thn 2004 yaitu pasal 34, yang mensyaratkan bahwa Kontraktor (Pengelola Blok Migas) wajib menawarkan PI sebesar 10% kepada BUMD di suatu Wilayah Kerja (WK) migas yang akan memasuki tahap produksi.

Perkembangan yang terjadi saat ini, sepertinya antara Gubernur Aceh dan Bupati Aceh Timur serta Medco sedang dalam proses komunikasi yang intens mengenai tuntutan ini, namun disisi yang lain besar kemungkinan selama ini Medco juga luput dari memenuhi kewajiban untuk menawarkan PI ini. Apabila Medco berhasil menyelesaikan tuntutan ini, maka perjalanan pengembangan Blok A menuju tahap produksi akan berjalan mulus.
IX. URGENSI PENGEMBANGAN BLOK A

Kondisi Aceh saat ini, lapangan gas Arun & Lhokseukon yang selama ini menjadi andalan ekspor LNG dan gas untuk industri petrokimia di Aceh Utara, sejak 10 tahun terakhir terus mengalami penurunan kapasitas produksi (natural decline), dan ekstrim nya adalah thn 2003 PT. PIM, Pupuk Asean (AAF) dan Kertas Kraft (KKA) tidak lagi mendapatkan supply gas dari ExxonMobil, sehingga menyebabkan AAF dan KKA harus tutup karena ketiadakan bahan baku dan sebagai sumber energy, sedangkan PIM sudah beberapa tahun terakhir mengandalkan gas swap dari Bontang (Gas Arun prioritas memenuhi komitmen ekspor).
Kondisi diatas mengisyaratkan bahwa pengembangan Blok A menuju tahap Produksi merupakan hal yang sangat mendesak demi kelangsungan industri petrokimia di Aceh disamping juga untuk meningkatkan pendapatan APBD Aceh disektor Migas.
X. BEBERAPA HAL YANG PERLU MENDAPAT PERHATIAN.

• Perijinan Pemda Aceh

Apabila tuntutan Pemda Aceh Timur berhasil direalisasikan (ditangani dengan baik) oleh Medco, maka persoalan perijinan dengan pemerintah setempat dapat dianggap tuntas dan Kontraktor proyek semestinya tidak perlu mengalokasikan kontigensi biaya yang tinggi dalam proposal, namun jika sebaliknya maka biaya perijinan konstruksi perlu mendapat ruang yang memadai (mengingat saat eksekusi nantinya berpotensi adanya extra cost untuk biaya perijinan yang berhubungan dengan Pemda setempat dan bekerja dalam kondisi tidak harmonis).
• Kondisi Keamanan di Aceh

Kondisi keamanan Aceh saat ini dapat dikatakan sudah sangat kondusif, dalam artian masyarakat setempat sudah dapat melakukan aktifitas kesehariannya selama 24 jam tanpa adanya gangguan keamanan, namun demikian kasus kriminal murni tentu saja masih saja terjadi (sama halnya dengan daerah lain di Indonesia).

Eks kombatan (GAM) sudah direkrut oleh Medco sebagai tenaga pengamanan, dan mudah2an ini bisa diberdayakan saat kegiatan konstruksi nantinya.
• Lokasi CPP (Central Processing Plant) mudah dijangkau.

Lokasi lapangan migas yang akan dikembangkan oleh medco ini adalah berjarak maksimal 13 KM dari jalan Raya Medan – Banda Aceh, yaitu tepatnya berada di Lapangan Alusiwah – Bagok kecamatan Nurussalam, sehingga akses kelokasi proyek relative mudah dijangkau (baik lokasi CPP, Flowline dan Sales Gas Pipeline) adalah merupakan area dan akses jalan yang telah dibebaskan oleh Asamera (pemilik lama) serta sales gas pipeline nya sebagian besar menggunakan pipa existing (Eks Exxon Mobil), adapun jalur pipa yang akan dibangun baru +/- 35 KM sehingga diharapkan dalam proses eksekusi tidak ditemukan kendala yang berarti.


”UU PA No 11 Thn 2006 Berkah Atau Masalah Bagi Aceh" (dalam Konteks Investasi Sektor Migas)

SUMMARY : BAHAN DISKUSI FORUM MIGAS ACEH

”UU PA No 11 Thn 2006 Berkah Atau Masalah Bagi Aceh
(dari sisi kegiatan investasi Sektor Migas)”
Di susun untuk :
Pusat Pengkajian & Pengembangan Aceh (P3A) Jakarta
Januari 2010
Oleh : Surkani Manan
I. Overview
Pasca kesepakatan damai di Aceh telah melahirkan sebuah UU tentang Pemerintah Aceh yang disebut dengan UU PA No 11 Thn 2006, yang ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia (Bp. Susilo Bambang Yudhoyono) pada tanggal 1 Agustus 2006.
Isinya meliputi Tentang urusan Pemerintahan, Dewan Legislatif , Perekononomian dll yang dikhususkan untuk Propinsi Nanggrou Aceh Darussalam.

Dari skenario awalnya tentu kehadiran UU ini dengan sebuah pengharapan akan lebih leluasa dan punya ruang gerak bagi Pemerintah Aceh dalam melaksanakan kegiatan pemakmuran Aceh dari semua sisi (Sosial Ekonomi Budaya / Adat & Keagamaan).
Namun sejak disahkan hingga saat ini, implementasi UU tersebut masih mengalami kendala yang sangat signifikan yaitu masih belum turun nya aturan teknis berupa PP. Hal yang teranyar dari implementasi UU ini adalah terjadinya deadlock antara pemerintah Aceh dengan Investor Migas (Medco Energy) perihal perpanjangan pengelolaan blok A migas ayng ada di Bagok Nurussalam Aceh Timur, yang dikarenakan disatu sisi pemerintah Aceh mengacu pada UU PA tentang pengelolaan SDA. Deadlock ini dengan serta merta memberi konstribusi kerugian bagi Aceh sendiri yaitu tertundanya potensi pendapatan dari sektor Migas, serta tertundanya pemanfaatan efek ganda dari kegiatan investasi Migas di Aceh serta lainnya (Industri Pupuk, Listrik dll).
Tulisan ini akan mengkaji dari sisi kegiatan pengembangan sektor migas, yang didalam UU PA ini diatur didalam Bab XXII (PEREKONOMIAN) bagian Ketiga Pengelolaan Sumber daya Alam pasal 156 s/d 161.

II. Kenapa Sektor Migas Menjadi Prioritas Penanganan

2.1 Migas menjadi pendongkrak PAD signifikan.

Propinsi Aceh pasca menurunnya kapasitas produksi Gas Arun, menyebabkan pertumbuhan ekonomi menjadi seret sejak > tahun 2000, namun kondisi ini sebenarnya agak sedikit tertolong dengan adanya kegiatan rekonstruksi Pasca Tsunami (Thn 2005 ~ 2008) sehingga pada saat itu Aceh terbantu pertumbuhan ekonominya.

Namun setelah kegiatan rekonstruksi tersebut berakhir, maka roda pertumbuhan perekonomian Aceh semakin menukik. Keberadaan kegiatan industri di Aceh Utara juga memberikan konstribusi yang lumayan besar terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi, namun apadaya kini Aceh Utara hanya menyisakan kenangan masih adanya industri Pupuk (PIM & Pupuk Asean), PT. Arun, PT. KKA, Aromatic dan industri hilir lainnya yang menjadi saksi bisu (beberapa sudah dalam kondisi sekarat karena ketiadaan sumber energy dan bahan baku berupa Gas).
2.2 Sektor Migas memberikan multiplier effect pertumbuhan ekonomi Aceh.

Kegiatan perekonomian disuatu negara ataupun dalam skala propinsi / daerah, tentu akan bertumbuh pesat jika ada kegiatan investasi dalam segala bidang yang juga tumbuh pesat (meskipun belanja APBN / APBD juga memberi konstribusi). Bila ditinjau kondisi di Aceh, hal yang tentu bisa mempercepat pertumbuhan ekonomi adalah segera memanfaatkan SDA nya untuk menggerakkan roda ekonomi disektor hilirnya (jangan lagi mengekspor Migas nya).
2.3 Aceh Punya potensi migas yang belum ter eksplore (akibat konflikberkepanjangan).
Sejak masuknya Aceh menjadi daerah yang bergejolak (era tahun 90 an hingga 2006), propinsi Aceh nihil dari kegiatan pencarian sumber migas, sehingga masih dapat diharapkan adanya cadangan Migas yang belum tereksplore & perlu segera digalakkan kegiatan pencarian migas.
2.4 Urgensi Investasi Sektor Migas (Energy) di Propinsi Aceh Saat ini.
Fakta yang ada di Aceh saat ini adalah, dengan ketiadaan nya sumber gas (Lapangan Arun yang sudah menipis), maka beberapa industri yang tadinya menjadi penopang urat nadi perekonomian di Aceh, kini mengalami kendala yang sangat krusial seperti industri (PIM, Pupuk Asean dll) terpaksa menghentikan pabriknya karena ketiadaan gas, yang bila kondisi ini terus dipertahankan maka bisa jadi nantinya akan tutup semua dan menjadi besi tua.

Berpijak dari urgensi nya sumber energy tersebut, maka dibutuhkan langkah2 yang cepat, tepat & bijak. Sehingga sumber energy (Migas) yang ada di Aceh dapat segera di eksploitasi agar perekonomian di Aceh segera bertumbuh demi menuju kemakmuran dan memberi nilai manfaat bagi masyarakat Aceh.

Hal lain yang menggelikan adalah Aceh saat ini kekurangan listrik (hampir setiap hari listrik mati) karena kemampuan PLN untuk menyuplai power sangat terbatas (defisit 30 MW untuk seluruh aceh), padahal jika segera dapat berproduksi blok Migas, maka listrik bisa segera menggunakan sumber energy dari gas yang jauh lebih murah dan semestinya Aceh punya potensi untuk mengalami surplus Listrik, yang tentu saja akan menjadi nilai tambah bagi Aceh dalam menarik investor berinvestasi.

III. Kegiatan Investasi Sektor Migas di Aceh

3.1 Kegiatan Investasi Migas di Indonesia.

Dalam rangka memberikan landasan hukum bagi pembaharuan dan penataan kembali kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi maka Pemerintah pada tanggal 23 Nopember 2001 telah menetapkan UU No.22 /2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Sejak ditetapkannya UU No.22 tahun 2001 tentang Migas pada tanggal 23 Nopember 2001 dan PP No.42 tahun 2002 tanggal 16 Juli 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas maka masalah pengawasan dan pembinaan kegiatan Kontrak Kerjasama atau Kontrak Productions Sharing yang sebelumnya dilaksanakan oleh PERTAMINA kini dilaksanakan oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas atau BPMIGAS.
Dalam Undang-undang tersebut ditegaskan bahwa minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan yang terkandung didalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai negara. Penguasaan negara tersebut diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan. Dan selanjutnya pemerintah membentuk Badan Pelaksana untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi (disingkat BP Migas).
BP. Migas berkantor pusat di Jakarta dan memiliki Kantor Perwakilan / wilayah operasi terdiri : BP. Migas Sumbagut, BP Migas Sumbagsel, BP. Migas Kalimantan & Sulawesi, BP Migas Jawa Timur, Maluku & Papua.

Semua kegiatan pengembangan Migas (Eksplorasi, Eksploitasi & Produksi) berada dibawah koordinasi BP Migas.

Adapun pelaksananya dilapangan adalah Kontraktor yang disebut dengan istilah KPS (Kontraktor Production Sharing) atau KKKS (Kontraktor Kontrak Kerjasama).

Untuk propinsi Aceh masuk dalam BP. Migas Sumbagut (yang berkantor di Pekanbaru).
3.2 Kegiatan Investasi Migas Khusus di Propinsi Aceh (Dalam koridor UU PA No 11 Thn 2006).

Bila mengacu (pasca turunnya UU PA No 11 Thn 2006)

Rujukan pasal 160 :

- Pemerintah & Pemerintah Aceh melakukan pengelolaan bersama sumber daya alam minyak & gas bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh.

- Untuk melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Aceh dapat mununjuk atau membentuk suatu badan pelaksana yang ditetapkan bersama.

- Kontrak kerjasama dengan pihak lain untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi dalam rangka pengelolaan minyak dan gas bumi dapat dilakukan jika keseluruhan isi perjanjian kontrak kerjasama telah disepakati bersama oleh Pemerintah dan Pemerintah Aceh.

- Sebelum melakukan pembicaraan dengan Pemerintah mengenai kontrak kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Aceh harus mendapat persetujuan DPRA.

- Ketentuan lebih lanjut mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Rujukan Pasal 161 :
- Perjanjian kontrak kerjasama antara Pemerintah dan pihak lain yang ada pada saat Undang-undang ini diundangkan dapat diperpanjang setelah mendapat kesepakatan antara Pemerintah dan Pemerintah Aceh sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 160 ayat (3).
Apabila merujuk kepada UU PA tersebut, maka ada beberapa hal utama yang perlu mendapat perhatian :

a. Kegiatan Migas di Aceh (baik dalam tahapan Eksplorasi, Eksploitasi & Produksi), termasuk pemilihan KPS (Kontraktor Production Sharing) serta teknis pelaksanaan termasuk pengawasan dari semua tahapan dilakukan secara bersama antara Pemerintah Pusat & Pemerintah Aceh.

b. Secara teknis, dalam pelaksanaannya membutuhkan Badan Pelaksana Migas (BP. Migas Aceh), yang didalamnya terdiri atas perwakilan BP Migas (Pemerintah pusat) dan perwakilan Aceh.

c. Ketentuan pelaksanaan dari UU PA tersebut dibutuhkan aturan teknis berupa Peraturan Pemerintah.
Fakta Yang Terjadi perihal Peraturan Pemerintah / PP (turunan dari UU PA thn 2006) :
a. Hingga saat ini Eksekutif (Pemerintah) bersama Legislatif (DPR) sudah menyelesaikan beberapa PP dan telah juga diimplementasikan di Aceh yaitu : PP tentang Partai politik, PP bagi Hasil migas & Otsus.

b. Peraturan pemerintah yang masih dalam proses pembahasan (yang utang pemerintah Pusat & DPR) adalah : PP tentang pengelolaan bersama SDA Minyak & Gas Bumi, PP tentang pelimpahan kewenangan pemerintah pusat yang bersifat nasional ke Aceh, PP Pelimpahan kewenangan Pemerintah kepada dewan kawasan Sabang (DKS), PP tentang / persyaratan dan tata cara pengangkatan & pemberhentian Sekretaris Daerah Aceh & Sekretaris Kabupaten / Kota, PP tentang tata cara pelaksanaan tugas & wewenang Gubernur sebagai Wakil Pemerintah, PP tentang Standar, Norma, dan Prosedur Pembinaan & Pengawasan PNS Aceh dan Kabupaten / Kota.

c. Disamping 6 PP, masih menyisakan 3 PerPres yang belum tuntas yaitu : PerPres tentang penyerahan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota menjadi perangkat daerah, PerPres tentang Tata Cara Konsultasi dan Pemberian Pertimbangan atas Rencana Persetujuan International, Rencana Pembentukan UU dan Kebijakan Administrasi yang berkaitan langsung dengan pemerintah Aceh oleh Gubernur / DPRA serta PerPres tentang Kerjasama Pemerintah Aceh dengan Lembaga atau Badan diluar Negeri.
Dengan masih banyaknya aturan teknis (6 PP dan 3 PerPres) yang belum tuntas, menimbulkan pertanyaan :

a. Haruskan kegiatan pengembangan Aceh kedepan tersendat akibat belum tuntasnya aturan teknis tersebut (PP & PerPres) ?.

b. Tidak adakah jalan tengah (sambil menunggu) turunnya PP & PerPres namun Aceh tetap juga bisa bergerak untuk menjalankan visi & misi nya kedepan ?.

c. Tidak adakah skala prioritas dari Pemerintah Aceh & DPRA menyikapi lambatnya proses pengesahaan PP & PerPres tersebut ?
3.3 Summary Kegiatan Investasi Sektor Migas di Propinsi Aceh.

a. Blok Migas Dalam tahapan Eksplorasi

o Blok Seuruway (Kontraktor / pengelola : Transword Seuruway Exploration Limited). Progress hingga saat ini sudah melakukan kegiatan Esplorasi (Seismik & 3D) disepanjang wilayah pantai Aceh, Per 26 Maret 2008 telah melakukan kegiatan Esploitasi (drilling) di Pantai Bagok Nurussalam Aceh Timur. Hingga saat ini PT. Transword telah mengeluarkan biaya penguasaan blok maupun kegiatan eksplorasi & ekploitasi > USD 10 juta.

Pasca pengeboran dilepas pantai Bagok, PT. Transword tidak melakukan kegiatan apapun.
o Blok Lepas Pantai Aceh Utara (KKKS / Pengelola : PT. Zaratex NV, perusahaan migas asal Belanda). Progress saat ini per November 2009 melakukan kegiatan Eksplorasi (Seismik survey) disepanjang pantai Lhokseumawe Aceh Utara). Perusahaan ini mengantongi ijin pengelolaan blok sejak tahun 2005 hingga 2015. Untuk kegiatan Eksplorasi ini diperkirakan PT. Zaratex sudah mengeluarkan kocek nya hingga Usd 6 Jutaan. Menurut keterangan pihak Zaratex, perusahaan ini juga masih Wait & See terhadap kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Aceh (Gubernur) yaitu dengan belum memberikan ijin perpanjangan Kontrak Blok A bagi Medco (untuk kegiatan produksi), sehingga mereka menganggap persoalan Medco bersifat serius bagi kegiatan investasi mereka di Aceh.
o Blok A Aceh (KKKS / Pengelola : Konsortium Medco EP 41,5% , Premier 41,5% & Japex 17%, yang menjadi Operator : Medco EP). Blok A ini meliputi daratan dari langsa hingga perbatasan Aceh Timur. Dari Blok A yang sudah positif ditemukan cadangan Gas nya adalah di Lapangan Alusiwah, Lapangan Alue rambong (Bagok Nurussalam) dan Lapangan Julok Rayuek (Kec : Kuta Binjei). Diluar lapangan yang sudah positif ada sumber gas nya tersebut, Medco juga melakuakn pengembangan kegiatan Eksplorasi berupa Seismic survey dan drilling di daerah Perlak aceh Timur yang dilakukan pada awal tahun 2009. Namun semua kegiatan tersebut terhenti sejak akhir tahun 2009 (sejak status perpohonan perpanjangan kontrak Blok A oleh Medco ke Pemerintah / BP. Migas terkatung-katung statusnya akibat tidak mendapat rekomendasi dari Gubernur Aceh).
b. Dalam tahapan Eksploitasi & produksi

o Blok A Aceh (Kontraktor : Medco EP, Premier & japex, Operator : Medco EP). Untuk lapangan yang sudah positif ada cadangan gas nya., Medco E&P telah mengajukan (per Juni 2009) POD, WP&B dan AFE ke BP. Migas, yang merupakan syarat utama pengembangan blok migas menuju tahapan Eksploitasi. Ini juga dibarengi dengan permohonan perpanjangan kontrak blok A yang akan berakhir 2011 menjadi 2021. Disatu sisi Pemerintah Pusat (Melalui Kepmen ESDM & BP Migas) telah menyetujui untuk perpanjangan kontrak, namun Pemerintah Aceh belum setuju (karena merujuk pada UU PA No 11 thn 2006). Apabila blok A ini bisa berproduksi maka akan memberikan nilai tambah yang sangat besar bagi kegiatan ekonomi di Aceh (Baca tulisan : Deadlock perpanjangan kontrak Block A (Medco) Bagok Aceh Timur, menjadi preseden buruk iklim investasi di Aceh.
o Blok Perlak (Kontraktor : Pertamina, Operator : PT. Pacific Oil), Blok ini diproyeksikan bisa menghasilkan minyak dengan kapsitas produksi per hari 4000 Barrel disamping juga menghasilkan kondensat.. Progress hingga saat ini menuju tahapan produksi, Per Des 2009 sudah melakukan kegiatan tender pembangunan fasilitas produksi, namun terkendala masalah non tehnis yang hingga saat ini belum menunjukkan tanda-tanda menuju pembangunan fasilitas produksi. Hal lain juga terbentur dengan UU PA No. 11 2006. Jadi status dari Investor : Wait & See.
o Blok Kureng Mane (KKKS / Pengelola : PT. ENI SPA) Perusahaan migas dari Italia ini telah mengantongi ijin pengelolaan blok sejak tahun 1999 hingga 2009, blok Migas ini berada dilepas pantai Krueng Mane (Aceh Utara). Progress saat ini ENI telah melakukan kegiatan Eksplorasi dengan estimasi pengeluaran kocek nya mencapai USD 19 Juta. Sudah ada cadangan Gas yang ditemukan dan siap untuk masuk ketahapan Eksploitasi & Pembangunan fasilitas Produksi. Bila blok ini bisa berproduksi maka akan sangat membantu kegiatan ekonomi Aceh serta dapat memenuhi kebutuhan Gas di propinsi Aceh (meskipun cadangan yang dimiliki masih dibawah cadangan Gas di Blok A Medco Bagok). Namun hingga saat ini ENI SAP belum juga melakukan kegiatan tahapan Produksi. Ada kemungkinan besar masih Wait & See.

3.4 Investasi di Sektor Migas Memiliki Resiko Tinggi

• Perlu disadari bersama bahwa kegiatan investasi disektor migas adalah bentuk investasi yang sangat beresiko tinggi (bila tidak adanya kepastian hukum). Sebagai ilustrasi bahwa sebuah perusahaan Migas yang telah memenangkan tender blok Migas disuatu daerah, maka segala pengeluaran biayanya sejak proses lelang hingga kegiatan Eksplorasi & Ekploitasi belum mendapatkan pembayaran oleh Pemerintah. Kontraktor baru mendapat ganti rugi (melalui Cost Recovery) apabila blok yang dikelola nya sudah menghasilkan produk (Minyak atau gas). Bila dirunut secara detail dari tahapan pemenangan tender Blok hingga masuk tahapan esploitasi dan produksi membutuhkan waktu +/- 5 tahun, dan malah terkadang sampai puluhan tahun baru memasuki tahapan produksi (Blok A Aceh yg sudah dilakukan eksplorasi sejak 30 tahun yang lalu oleh Asamera, baru sekarang mau diproduksi, serta Blok Gas di Tanggung Irian jaya serta blok-blok migas lainnya).

• Satu hal yang perlu dipahami bersama adalah kegiatan investasi di sektor migas adalah bersifat jangka panjang dan penuh resiko dalam proses nya. Untuk itu kepastian hukum akan menjadi acuan utama bagi investor jika ingin involve dalam pengembangan migas disuatu daerah.
IV. Peran Apa Yang Bisa diAmbil oleh P3A (Pusat Kajian & Pengembangan Aceh).

4.1 Deadlock negosiasi perpanjangan kontrak Blok A antara Pemerintah Aceh dengan Medco Energy bisa menjadi entry point bagi P3A dalam memberikan kajian dan penelaahan masalah iklim investasi di Aceh, hal ini tentu saja akan menjadi preseden yang tidak baik bagi Aceh dimata Investor (yang kondisi ini tidak hanya akan dialami oleh Medco).
4.2 P3A bisa berperan serta dalam kajian dari semua sisi :

• Aspek Hukum (Kajian Efek Implementasi UU PA No 8 thn 2006 serta perangkat teknisnya (PP) terhadap kegiatan investasi Migas di Aceh).
• Aspek Ekonomi (Kajian sisi manfaat dan added value terhadap kegiatan investasi sektor Migas di Aceh)

• Aspek SosPolBud (Kajian dari sisi ketahanan Sosial Politik & Budaya di Propinsi Aceh dengan hadirnya investasi Migas di Aceh)
• Serta kajian aspek lainnya

4.3 Siapa saja yang perlu diajak dalam forum diskusi ini :

• Para Stakeholder :

Perwakilan Pemerintahan Aceh : Pemda Aceh / DPRA,

Perwakilan Regulator (Pemerintah Pusat) : BP. Migas / Kementrian ESDM, Perwakilan Pelaku Bisnis (Investor Migas) : Medco, Zaratex, Pertamina, ENI).

Perwakilan Energy User (Buyer) : PT. PIM, PT. Pupuk Asean PT. KKA.

• Para Praktisi / Akademisi : dibidang hukum, dibidang Teknologi Minyak & Gas.

• Para Perwakilan Masyarakat daerah operasi Blok Migas.
V. Kesimpulan

5.1 Hadirnya UU PA no 11 tahun 2006 haruslah menjadi rahmat dan bukan menjadi pagar penghalang bagi kegiatan perekonomian dan sektor lainnya di Aceh.

5.2 Perlunya kearifan dan langkah yang cepat & tepat terhadap deadlocknya implementasi UU PA No 11 tahun 2006, agar pagar penghalang menjadi stimulus.

5.3 Perlunya langkah-langkah terobosan sehingga tidak membuyarkan niat baik dari investor untuk berinvestasi di Aceh.

MEDCO BLOK A ACEH

Pengembangan migas blok A Aceh sudah selayaknya mengedepankan strategy yang dapat memberi nilai manfaat bagi pertumbuhan ekonomi masyarakt ring -1, yaitu masyarakat Nurussalam, yang memang merupakan kecamatan tempat lapangan migas paling dominan di Blok A, meliputi Lapangan Alusiwah (8,9 & 10).

ACEH MENDESAK ADA TIM AD HOC MIGAS

Bila mengacu peta cadangan migas Indonesia versi ESDM, maka cadangan gas Aceh menduduki urutan ke 7 dengan cadangan 5.72 TSCF (No. 1 Natuna : 52.59, No.2 Sumsel : 27.1, No. 3 Kaltim : 24.96, No. 4 Papua : 24.21, No. 5 Maluku : 13.65, dan No. 6 Riau : 8.15), sedangkan cadangan minyak Aceh juga di No 7 yaitu 144.42 MMSTB, (No.1 Riau : 4.163 MMSTB, No. 2 Jatim : 913, No.3 Sumsel : 852, No. 4 Kaltim : 765, No.5 Jabar : 596,dan No. 6 Natuna : 414). harus diakui propinsi Aceh memang pernah menjadi produsen gas terbesar di Asia, namun perlu disadari itu adalah masa lalu dan kita sekarang berada di masa kini, semua kejayaan masa lalu (meskipun tidak dinikmati sepenuhnya rakyat Aceh) mestinya menjadi bahan evaluasi bersama, sehingga kedepannya potensi migas ini bisa mendatangkan keberkahan bagi rakyat Aceh dan bukan malah menjadi musibah.
Terbatasnya cadangan migas tersebut, menuntut adanya langkah-langkah strategis dari para stakeholder Aceh, sehingga potensi pendapatan dari migas tersebut dapat lebih optimal digunakan ke sektor-sektor yang mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi Aceh dimasa akan datang dan mengakselerasi ketertinggalan pembangunan disemua sektor, mengingat cadangan migas tersebutpun akan segera habis dalam 10 tahun kedepan (jika sumber migas baru, tidak ditemukan).
Tiga tahun terakhir kegiatan investasi migas sudah mulai berjalan di Aceh, oleh karena itu sambil menunggu lahirnya PP Migas dan Badan Pengelola Migas Aceh (atau apapun namanya), maka sungguh sangat mendesak adanya Tim Ad Hoc Migas Aceh yang fungsinya tentu bisa berperan seperti layaknya BP. Migas, tim ini sebagai kelanjutan Tim Advokasi Migas yang pernah dibentuk Pemda Aceh yang awal 2010 menyelesaikan purna tugasnya.

Tim AdHoc Migas ini tentunya diharapkan akan terlibat dalam pengontrolan kegiatan migas Aceh, khususnya pada blok-blok yang akan memasuki tahapan ekspoitasi (produksi), disamping fungsi kontrol dan budgetery tim ini juga perlu menyiapkan Road Map migas versi Aceh, yang berisi skenario pengembangan dan pemanfaatan migas, termasuk memetakan kendala investasi sektor migas serta skenario pemanfaatan infrastructure existing migas yang dimiliki, sederhananya Aceh harus punya rencana yang komprehensif (hulu dan hilir), mau diapakan sumber migas yang dimilikinya, mau dikelola dan dimanfaatkan seperti apa, apakah sepenuhnya berorientasi ekspor (dengan paradigma berpikir instan untuk peningkatan PAD) atau sepenuhnya domestic (Aceh) untuk menghidupkan industri hilir, sehingga memberikan multiplier effect bagi perekonomian Aceh dimasa akan datang. Disisi yang lain, tentu dengan adanya Road Map migas Aceh akan memberikan kepastian investasi bagi investor yang tertarik kegiatan migas di Aceh.
Saat ini beberapa blok migas di Aceh akan memasuki tahap eksploitasi (produksi) yaitu Blok A (Medco) dan Blok Perlak (Pacific O&G), tentu secara regulasi akan melalui tahapan persetujuan POD, WP&B dan AFE oleh BP. Migas, tahapan ini akan menjadi acuan bersama (Operator dan pemerintah) terhadap kegiatan eksploitasi ( produksi) baik dari sisi rencana kerja maupun anggaran, sehingga diharapkan dengan adanya Tim Ad Hoc tersebut sudah bisa ikut mereview POD, WP&B dan AFE yang diajukan Operator, mengingat tahapan eksploitasi akan menyedot dana investasi yang paling dominan dari semua kegiatan migas. Kita tentu perlu mengembangkan prinsip-prinsip kehati-hatian secara proporsional terhadap semua beban biaya yang dikeluarkan oleh operator migas, mengingat nantinya akan berpengaruh pada beban cost recovery dan berefek terhadap bagi hasil Aceh, namun demikian kehati-hatian tersebut juga harus dilakukan secara proporsional dan professional serta sesuai dengan regulasi yang ada dan dilandasi atas keinginan mewujudkan tata kelola bisnis yang baik (Good Corporate Governance).

Hal lain juga Tim Ad Hoc ini bisa menjadi corong informasi secara proporsional bagi para stakeholder Aceh, misalnya informasi perihal besaran bagi hasil migas yang bakal diterima Aceh serta estimasi jadwal penerimaannya, mengingat besar kemungkinan tahun pertama produksi para pihak (Aceh, Pusat & Investor) belum dapat menikmati bagi hasil jika dalam kontrak tidak menerapkan FTP (First Tranche Petroleum), dengan asumsi tahun pertama (Cost Recovery + Investment Credit) > Revenue (pendapatan dari penjualan Migas) sehingga Recoverynya = Revenue (diambil nilai terkecil) dan equity to be Split = 0, pengertiannya para pihak belum bisa menikmati bagi hasil di tahun pertama produksi. Namun sebaliknya jika kontrak menerapkan pola FTP, maka ada kemungkinan para pihak mendapatkan nya di tahun pertama produksi, serta hal lainnya yang memang perlu menjadi perhatian dalam pengelolaan migas.

Semua hal diatas tentu bisa diperoleh jawaban dengan pasti, jika Aceh memiliki Tim sebagai wakilnya didalam struktur BP Migas dan terlibat dari awal, mengingat semua tahapan pengembangan blok migas saling berkaitan, ini juga untuk menghindari timbulnya interpretasi dan ekspektasi berlebihan dari para stakeholder Aceh mengenai kegiatan migas yang memang cendrung sensitif.
Perlu disadari Aceh juga memiliki SDM yang mumpuni di bidang migas, misalnya saja menggunakan kembali Tim Advokasi Migas atau yang lainnya, kapasitas tim ini tentu tidak diragukan lagi dipercaturan bisnis Migas, tinggal lagi menyatukan visi dan misi yang ingin diraih serta saling memahami dan menghargai sesuai fungsi dan tugas masing-masing secara proporsional dan profesional tentunya.

Dalam menggalang kerjasama dengan siapapun juga, tentunya harus selalu dilandasi atas saling percaya dan diperlukan kebesaran hati dan keikhlasan untuk menghargai orang lain dan membuka diri, tidak saling menyalahkan, bersedia memaafkan dan sama-sama menjadikan kritik sebagai sebuah tindakan nyata (perbaikan) ke arah lebih baik untuk mewujudkan cita cita kemaslahatan dan kemakmuran rakyat Aceh kedepan, seperti dinyatakan dalam sajak Susan Polis Schutz :

I do not want to change you, You know what is best for your much better than I.
I do not want you to change me, I want you to accept me and respect me the way I am.
In this way we can build a strong relationship, Based on reality rather than a dream.




Aku tidak ingin merubah kamu, Kamu tahu yang terbaik buatmu lebih baik dariku
Aku tidak ingin kamu merubahku, Aku ingin kamu menerimaku dan menghargaiku apa adanya.
Dengan demikian kita dapat membangun hubungan yang kuat, berdasarkan kenyataan dan bukan mimpi.

Perlu pemahaman bersama tentang potensi migas Aceh

Adanya UU PA No 8 Thn 2006 memang membuka ruang bagi Aceh untuk bisa terlibat secara aktif dalam pengelolaan potensi alam yang dimiliki, salah satunya disektor migas, namun faktanya 4 tahun pasca berlakunya UU tersebut, aturan teknisnya berupa PP Migas agak nya masih jauh dari harapan.


Posisi tawar Aceh yang merupakan propinsi dengan kemenangan mayoritas SBY dan demokrat di DPR pusat belum menunjukkan nilai lebih bagi Aceh (dalam konteks persetujuan PP Migas), juga eksekutif dan legislatif Aceh masih belum menunjukkan taring kemampuan lobbynya di tingkat nasional.

Ketidakjelasan PP migas ini juga sempat membuat gerak kegiatan investasi migas di Aceh mengalami kemacetan dalam satu tahun terakhir, saat itu Pemda Aceh menunggu keluarnya payung hukum, dengan harapan Aceh bisa terlibat aktif bila PP Migas tersebut disetujui. Pemda aceh sendiri juga membentuk Tim Advokasi migas yang terdiri atas para praktisi migas asal Aceh, hasil nya berupa rekomendasi ke gubernur terhadap sikap yang perlu diambil (tentu tulisan ini tidak dalam porsinya membahas tentang isi rekomendasi tersebut). Namun medio Juli 2010, media mempublikasikan bahwa Pemda Aceh telah menyetujui perpanjangan kontrak pengelolaan (PSC) diblok A yang awalnya berakhir 2011, sehingga keputusan ini menjadi catatan sejarah penting dalam kegiatan investasi migas di Aceh pasca berlakunya UU PA thn 2006.

Pemda Aceh telah mengalokasikan waktu +/- 1 tahun untuk mengkaji dari berbagai aspek hingga menyetujui perpanjangan PSC tersebut, keputusan ini tentu tidak mungkin dapat memberi kepuasan kesemua pihak, apalagi jika merujuk pada semangat dan cita-cita terbentuknya UU PA, satu sisi tim advokasi migas telah bekerja dan memberi rekomendasi dan Pemda Aceh juga telah membuat keputusan, setelah keputusan ini dibuat maka selayaknya diskusi bergeser kearah pemikiran bagaimana membuat posisi Aceh menjadi lebih strategis keterlibatannya dimasa akan datang dalam pengelolaan potensi migas.

Hal yang memang perlu terus kita ingatkan kepada eksekutif dan legislatif Aceh adalah perlu lebih kerja keras lagi dan komitmen bersama agar semua amanah UU PA dapat terealisasikan di Aceh, tidak ada artinya menyalahkan Jakarta atau pihak lainnya, namun lebih bijak bercermin diri untuk tindakan koreksi kedepan.

Semua memahami saat Pemda Aceh membuat keputusan tersebut (meski PP Migas belum terbit), pertanda bahwa semua regulasi yang selama ini menjadi acuan investasi migas seperti hal nya keberadaan BP Migas dan produk regulasinya, baik pada tahap lelang blok, tahap Eksplorasi, Eksploitasi (Produksi), persetujuan POD, WP&B dan AFE nya, Pedoman Tata Kelola (PTK) serta lainnya, Aceh akan mengadopsi nya, kecuali dari sisi porsi bagi hasil.

Posisi tawar Pemda Aceh ke pusat adalah permintaan penempatan perwakilannya dalam organisasi BP. Migas yang akan ikut mengontrol kegiatan investor migas. Keberadaan tim ini tentu sangat penting, sehingga disaat berhasil terwujudnya BP. Migas Aceh (apapun namanya) maka Aceh sudah siap, sebuah keharusan tim ini terbebas dari unsur kepentingan politis dan murni berangkat dari profesionalitas semata untuk mengoptimalkan Eksplorasi dan Produksi migas demi mencetak potensi penerimaan keuangan Aceh (bukan malah menciptakan beban cost dan birokrasi tambahan).

Seperti diketahui investasi migas termasuk High risk, High capital dan High technology. Sesuai aturan, Investor migas harus menalangi dulu semua biaya kegiatan eksplorasi (biaya penguasaan blok migas, survey geologi, geofisika, survey seismic dan gravitasi, hingga drilling untuk memastikan ada tidaknya potensi hidrokarbon dalam cebakan), ditahapan ini jika ditemukan cadangan Migas & bernilai ekonomis maka investor telah punya sebuah harapan, kerja keras & talangan dana terus harus berlangsung hingga blok tersebut bisa berproduksi, sedangkan semua biaya investasi yang timbul (Capital + Non Capital) akan menjadi beban cost recovery (setelah blok berproduksi). Sebaliknya jika potensi migas tidak berhasil ditemukan, maka investor hanya gigit jari (semua biaya menjadi resiko investasi yang tidak mendapatkan kompensasi dari pemerintah).

Tinggi nya resiko tersebut, menuntut adanya back up yang kuat akan kepastian hukum, investor harus didukung sepenuhnya untuk dapat bekerja secara optimal, tentu dalam koridor (regulasi) yang ada dan selama keberadaan mereka memiliki nilai tambah bagi masyarakat diwilayah kerjanya. Kita juga wajib terus memonitor strategi yang dijalankan investor secara proporsional dan ikut mendorong dalam mewujudkan tata kelola perusahaan yang baik (GCG), sehingga semua beban biaya yang masuk dalam cost recovery tepat sasaran dan efisien.

Saat ini beberapa blok migas di Aceh akan masuk tahapan Eksploitasi (produksi) yaitu Blok A dilapangan Aluesiwah Bagok Nurussalam (Medco), Blok Perlak (Pacific Oil - Pertamina KSO) serta Blok Offshore Krueng Mane (ENI), Sedangkan blok lainnya masih tahapan eksplorasi yaitu Blok Seuruway di pesisir pantai Bagok Nurussalam (Transword), Blok pesisir aceh utara (Zaratex) dan lainnya.

Blok A saat ini dalam proses persetujuan perpanjangan PSC serta persetujuan WP&B dan AFE. Bila berjalan lancar, blok A akan segera masuk tahapan pembangunan fasilitas produksi (EPC) di bagok Nurussalam, dengan durasi proyek +/- 2 tahun (prediksi medio 2012 bisa Gas In). Tahapan EPC ini akan menyerap nilai investasi paling dominan dari semua rangkaian kegiatan sektor migas. Tahap ini akan sangat menentukan target waktu produksi, mengingat beberapa equipment utama fasilitas produksinya termasuk Long lead Items (LLI), seperti halnya gas turbine compressor, CO2 removal serta equipment lainnya yang harus diimpor dan membutuhkan waktu order +/- 1 tahun sejak penerbitan PO hingga pengiriman ke lapangan.

Sungguh akan sangat beresiko secara cost dan target produksi jika kegiatan pembangunan ini harus terhenti akibat non teknis, tentu harus menjadi pemahaman bersama bahwa ketika investor mengalami kendala pelaksanaan tahapan EPC yang mengakibatkan pembengkakan biaya, maka kerugian yang ditimbulkan bukan hanya menjadi tanggungan investor, tapi akan berimbas kesemua pihak dari sisi beban cost recovery dan konsekuensinya besaran bagi hasil / Equity to be Split (pemda Aceh, Pusat & investor) akan berpengaruh.
Pint utama tulisan ini adalah saat kita telah menyatakan selamat datang pada investor, maka dukungan dari semua unsur pemda Aceh dan partisipasi semua elemen masyarakat akan sangat menentukan keberhasilannya, sehingga kegiatan investasi migas akan dapat memberi nilai tambah bagi Aceh demi kemaslahatan bersama.

Cerita tentang Bagok Aceh Timur