ACEH MENDESAK ADA TIM AD HOC MIGAS

Bila mengacu peta cadangan migas Indonesia versi ESDM, maka cadangan gas Aceh menduduki urutan ke 7 dengan cadangan 5.72 TSCF (No. 1 Natuna : 52.59, No.2 Sumsel : 27.1, No. 3 Kaltim : 24.96, No. 4 Papua : 24.21, No. 5 Maluku : 13.65, dan No. 6 Riau : 8.15), sedangkan cadangan minyak Aceh juga di No 7 yaitu 144.42 MMSTB, (No.1 Riau : 4.163 MMSTB, No. 2 Jatim : 913, No.3 Sumsel : 852, No. 4 Kaltim : 765, No.5 Jabar : 596,dan No. 6 Natuna : 414). harus diakui propinsi Aceh memang pernah menjadi produsen gas terbesar di Asia, namun perlu disadari itu adalah masa lalu dan kita sekarang berada di masa kini, semua kejayaan masa lalu (meskipun tidak dinikmati sepenuhnya rakyat Aceh) mestinya menjadi bahan evaluasi bersama, sehingga kedepannya potensi migas ini bisa mendatangkan keberkahan bagi rakyat Aceh dan bukan malah menjadi musibah.
Terbatasnya cadangan migas tersebut, menuntut adanya langkah-langkah strategis dari para stakeholder Aceh, sehingga potensi pendapatan dari migas tersebut dapat lebih optimal digunakan ke sektor-sektor yang mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi Aceh dimasa akan datang dan mengakselerasi ketertinggalan pembangunan disemua sektor, mengingat cadangan migas tersebutpun akan segera habis dalam 10 tahun kedepan (jika sumber migas baru, tidak ditemukan).
Tiga tahun terakhir kegiatan investasi migas sudah mulai berjalan di Aceh, oleh karena itu sambil menunggu lahirnya PP Migas dan Badan Pengelola Migas Aceh (atau apapun namanya), maka sungguh sangat mendesak adanya Tim Ad Hoc Migas Aceh yang fungsinya tentu bisa berperan seperti layaknya BP. Migas, tim ini sebagai kelanjutan Tim Advokasi Migas yang pernah dibentuk Pemda Aceh yang awal 2010 menyelesaikan purna tugasnya.

Tim AdHoc Migas ini tentunya diharapkan akan terlibat dalam pengontrolan kegiatan migas Aceh, khususnya pada blok-blok yang akan memasuki tahapan ekspoitasi (produksi), disamping fungsi kontrol dan budgetery tim ini juga perlu menyiapkan Road Map migas versi Aceh, yang berisi skenario pengembangan dan pemanfaatan migas, termasuk memetakan kendala investasi sektor migas serta skenario pemanfaatan infrastructure existing migas yang dimiliki, sederhananya Aceh harus punya rencana yang komprehensif (hulu dan hilir), mau diapakan sumber migas yang dimilikinya, mau dikelola dan dimanfaatkan seperti apa, apakah sepenuhnya berorientasi ekspor (dengan paradigma berpikir instan untuk peningkatan PAD) atau sepenuhnya domestic (Aceh) untuk menghidupkan industri hilir, sehingga memberikan multiplier effect bagi perekonomian Aceh dimasa akan datang. Disisi yang lain, tentu dengan adanya Road Map migas Aceh akan memberikan kepastian investasi bagi investor yang tertarik kegiatan migas di Aceh.
Saat ini beberapa blok migas di Aceh akan memasuki tahap eksploitasi (produksi) yaitu Blok A (Medco) dan Blok Perlak (Pacific O&G), tentu secara regulasi akan melalui tahapan persetujuan POD, WP&B dan AFE oleh BP. Migas, tahapan ini akan menjadi acuan bersama (Operator dan pemerintah) terhadap kegiatan eksploitasi ( produksi) baik dari sisi rencana kerja maupun anggaran, sehingga diharapkan dengan adanya Tim Ad Hoc tersebut sudah bisa ikut mereview POD, WP&B dan AFE yang diajukan Operator, mengingat tahapan eksploitasi akan menyedot dana investasi yang paling dominan dari semua kegiatan migas. Kita tentu perlu mengembangkan prinsip-prinsip kehati-hatian secara proporsional terhadap semua beban biaya yang dikeluarkan oleh operator migas, mengingat nantinya akan berpengaruh pada beban cost recovery dan berefek terhadap bagi hasil Aceh, namun demikian kehati-hatian tersebut juga harus dilakukan secara proporsional dan professional serta sesuai dengan regulasi yang ada dan dilandasi atas keinginan mewujudkan tata kelola bisnis yang baik (Good Corporate Governance).

Hal lain juga Tim Ad Hoc ini bisa menjadi corong informasi secara proporsional bagi para stakeholder Aceh, misalnya informasi perihal besaran bagi hasil migas yang bakal diterima Aceh serta estimasi jadwal penerimaannya, mengingat besar kemungkinan tahun pertama produksi para pihak (Aceh, Pusat & Investor) belum dapat menikmati bagi hasil jika dalam kontrak tidak menerapkan FTP (First Tranche Petroleum), dengan asumsi tahun pertama (Cost Recovery + Investment Credit) > Revenue (pendapatan dari penjualan Migas) sehingga Recoverynya = Revenue (diambil nilai terkecil) dan equity to be Split = 0, pengertiannya para pihak belum bisa menikmati bagi hasil di tahun pertama produksi. Namun sebaliknya jika kontrak menerapkan pola FTP, maka ada kemungkinan para pihak mendapatkan nya di tahun pertama produksi, serta hal lainnya yang memang perlu menjadi perhatian dalam pengelolaan migas.

Semua hal diatas tentu bisa diperoleh jawaban dengan pasti, jika Aceh memiliki Tim sebagai wakilnya didalam struktur BP Migas dan terlibat dari awal, mengingat semua tahapan pengembangan blok migas saling berkaitan, ini juga untuk menghindari timbulnya interpretasi dan ekspektasi berlebihan dari para stakeholder Aceh mengenai kegiatan migas yang memang cendrung sensitif.
Perlu disadari Aceh juga memiliki SDM yang mumpuni di bidang migas, misalnya saja menggunakan kembali Tim Advokasi Migas atau yang lainnya, kapasitas tim ini tentu tidak diragukan lagi dipercaturan bisnis Migas, tinggal lagi menyatukan visi dan misi yang ingin diraih serta saling memahami dan menghargai sesuai fungsi dan tugas masing-masing secara proporsional dan profesional tentunya.

Dalam menggalang kerjasama dengan siapapun juga, tentunya harus selalu dilandasi atas saling percaya dan diperlukan kebesaran hati dan keikhlasan untuk menghargai orang lain dan membuka diri, tidak saling menyalahkan, bersedia memaafkan dan sama-sama menjadikan kritik sebagai sebuah tindakan nyata (perbaikan) ke arah lebih baik untuk mewujudkan cita cita kemaslahatan dan kemakmuran rakyat Aceh kedepan, seperti dinyatakan dalam sajak Susan Polis Schutz :

I do not want to change you, You know what is best for your much better than I.
I do not want you to change me, I want you to accept me and respect me the way I am.
In this way we can build a strong relationship, Based on reality rather than a dream.




Aku tidak ingin merubah kamu, Kamu tahu yang terbaik buatmu lebih baik dariku
Aku tidak ingin kamu merubahku, Aku ingin kamu menerimaku dan menghargaiku apa adanya.
Dengan demikian kita dapat membangun hubungan yang kuat, berdasarkan kenyataan dan bukan mimpi.

1 komentar: